1. Cita Rasa (Dzauq)
Cita rasa adalah
pengalaman spiritual langsung. Dzauq merupakan tahapan atau lebih
tepatnya, haal (kondisi spiritual) pertama dalam pengalaman
pengungkapan diri Allah (tajalli). Rasa ini diperoleh dari perjalanan
rohani dalam berbagai maqamat, serta berbagai perilaku dzikir dari
seorang sufi.
Dari dzauq, perjalanan seorang sufi terus
diarahkan pada kemenyatuan (larut dalam Keesaan) yang sering disebut
juga sebagai “syurb” (minuman dari hidangan rohani Illahi). Sehingga
dahaga spiritual yang dirasakan menjadi terpuaskan. Terkadang proses
ini juga diikuti dengan tahapan sukr (kemabukan spiritual), yang
secara tidak sadar, atau diluar kendali diri kemanusiaannya sering
memunculkan pertanyaan dan kata-kata serta ungkapan spiritual
(syathahat). Hal ini terjadi karena rasa keterkuasaan oleh wujud
Tuhan dalam rohaninya.
Kelanjutan proses dzauq dan bagaimana
kondisi rohani seseorang yang larut didalamnya, tidak dapat ditangkap
melalui kata-kata. “Orang-orang yang merasakannya pasti tahu. Dan
mereka yang belum merasakannya pasti belum tahu”. Tanpa secara
langsung merasakannya, seseorang tidak akan mungkin mampu mendapatkan
gambaran yang paling pas atas fenomena ini. Dan yang jelas, dzauq
merupakan gerbang utama untuk memperoleh pengetahuan langsung tentang
Allah dan dari Allah. Jadi seorang sufi yang belum bisa merasakan
cita rasa spiritual, tidak mungkin akan dapat melampaui tahapan
ma’rifatullah. Mungkin kalau sebatas pengetahuan tentang Allah,
secara minimal sudah bisa didapatkan. Namn pengetahuan langsung dari
Allah sebagai inti ma’rifat belum mampu akan diperolehnya kecuali
dengan perasaan dzauq. Dimana seorang hamba larut dalam kemanunggalan
dengan Tuhan.
2. Penyingkapan (Kasyf)
Kasyf
adalah penyingkapan atau wahyu atau pengetahuan langsung yang
diperoleh dari Allah setelah seorang sufi berhasil melampaui tahapan
dzauq. Kasyf merupakan salah satu jenis pengetahuan langsung, yang
dengan itu pengetahuan tentang Hakikat diungkapkan pada hati seorang
sufi dan kekasih yang mencintai Allah.
Dengan sifat rahmat-Nya,
Allah memberikan kepadanya sebuah Pengungkapan diri Allah. Tidak
hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan juga
menambahkannya kerinduannya yang menggelora dalam lautan cintanya
kepada Allah. Disinilah seorang sufi sampai pada sebutan ahl al-kasyf
wa al-wujud (Kaum Penyingkap dan Penemu). Dalam penyingkapan itulah
mereka “menemukan” dan “bertemu” Allah.Terdapat lima jenis penyingkapan yang terjadi pada para sufi:
a.
Kasyf ‘aqli. Penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan
pengetahuan intuitif yang paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan
dicintai melalui akal (al-‘aql), karena akal membelenggu dan
menghalangi manusia dalam tahapan akhir kenaikannya menuju Allah. “Bumi
dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hamba-Ku yang
beriman yang sanggup memuat-Ku “ (hadits qudsi)
b. Kasyf-i
arwah. Adalah bentuk penyingkapan ruh-ruh. Diawali tentang
pengetahuan atas ruh diri sendiri, kemudian tentang ruh-ruh manusia dan
makhluk lain, lalu meningkat ke ruh dalam seluruh dimensi “alam
al-ghaib. Puncaknya adalah pada pengetahuan langsung ruh al-idhafi, dan
diarahkannya kepada al-Ruh al-Haqq.
c. Kasyf bashari atau juga
Kasyf kauni. Merupakan penyingkapan pada tataran makhluk.
Penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dilakukan
Allah. Dalam suatu peristiwa-tempat, tindakan, atau ucapan
manusia-seorang yang suci bisa menjadi tempat bagi penyingkapan
visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan (jamal)
dan Keagungan (jalal). Melalui makhlukNya, Allah bisa mengungkapkan
diri-Nya pada hambaNya lewat salah satu Nama KeindahanNya yang akan
menimbulkan kemanisan dan kesenangan. Atau lewat salah satu Nama
KeagunganNya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Disinilah
peranan al-asma’ al-husna serta al-asma’ al nabi sangat strategis untuk
mengantarkan dan membawa seorang sufi kedalam samudera penghayatan
rohaniah.
d. Kasyf Imani. Penyingkapan melalui keimanan.
Penyingkapan ini terjadi melalui ketulusan iman seorang muslim. Kadar
intensitas penyingkapan ini bisa berfungsi sebagai katalisator yang
mengaktifkan sang Mukmin untuk lebih banyak lagi mencari ilmu dan
pengetahuan spiritual.
e. Al-Kasyf al-Ilahi. Penyingkapan Illahi.
Penyingkapan ini merupakan buah manis dari ibadah terus menerus dan
menghiasi hati dengan mengingat Allah (dzikrullah). Prosesnya bisa
melalui dzikir, wirid, atau mujahadah dan sejenisnya. Penyingkapan
Illahi ini bisa terjadi secara langsung dalam hati, tanpa bantuan
visual apapun, yakni ketika Keindahan Allah masuk kedalam hati
seorang sufi dan pencinta-Nya. Ini juga bisa terjadi dengan bantuan
visual yang berupa lokus tertentu Cahaya Illahi seperti
dengan sarana wushuliyah seorang suci, benda, atau tempat suci.
Ibarat daya listrik yang bukan sumber sendiri, maka ia harus melalui
alat penghantar. Atau penampungan air yang tidak berada di sumber
air, yang melaluinya air mengalir kepadanya. Seorang yang memperoleh
penyingkapan ini akan melihat Wajah Allah yang tercermin melalui
sarana hantaran yang ada, dan terpantul ke kedalaman lubuk hati.
Dimana ruh al-idhafi akan menangkap pantulan tersebut. Tentu saja
tingkat kesempurnaan penyingkapan lebih utama pada penyingkapan
spiritual yang tanpa bantuan visual.
Berdasarkan konsepsi dan
realitas tersebut, maka Syekh Siti Jenar telah termasuk dalam
kelompok quthb al-auliya’, dimana seluruh dimensi kasyf memang sudah
dialami, dan menjadikannya sebagai “penyingkap” dan “penemu”, yang
aliran sufi-nya muncul sebagai aliran sufi mandiri.
3. Penyaksian (Musyahadah)
Musyahadah
adalah penyaksian atau visi. Musyahadah adalah sejenis pengetahuan
langsung tentang Hakikat yang disaksikan. Sehingga seorang sufi yang
sudah berada dalam tahapan ini disebut sebagai musyahid, atau Saksi.
Dia adalah orang yang telah memperoleh visi (musyahadah) tentang
Allah, Yang Maha Benar.
Penyaksian ini terjadi dalam berbagai
cara. Sebagian penempuh jalan spiritual dan kaum tarekat menyaksikan
Allah dalam segala sesuatu. Sebagian menyaksikan Allah sebelum,
sesudah dan bersama sesuatu. Sebagian lain menyaksikan Allah sendiri.
Semua tergantung pada proses, jalan rohani, yang ditempuh dan juga
kondisi rohani sang penempuh jalan masing-masing.
Dan karena
Allah tidak pernah mengungkapkan Diri-Nya sendiri secara sama dalam
dua momen berturut-turut pada sesuatu, maka penyaksian (musyahadah)
itu tidak terbatas dan tiada berakhir. Inilah salah satu kenikmatan
atau nikmat (na’im) yang dirasakan oleh para penghuni surga sejati.
Dan tentu bagi para pecinta-Nya dan para perindu-Nya, ia bisa saja
merasakan kebahagiaan abadi tersebut sejak dari dunia ini. Sehingga
ketika ia melalui gerbang kematian, ia disebut sebagai “tidak mati”,
akan tetapi berada dalam kehidupan. Ya, hamba yang sudah manunggal
hanya beralih alam menuju pada Kehidupan Sejati dan mengarungi
Keabadian sebagaimana Syekh Siti Jenar mengalami kematian, ruh dan
raganya sama-sama musnah menuju Ruh al-Haqq Yang Abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar