Rasulullah saw. pernah bersabda:” Aku adalah kota ilmu, dan Ali gerbangnya.”
Nah, dalam rangka mengetahui keluasan ilmu dari Sang Gerbang Kota Ilmu itu, kami posting khotbah Ali bin Abu Thalib kw. (karromallahu wahjahu= semoga Allah memuliakan wajahnya) yang kami copy dari blog sahabat.
http://nahjalbalaghah.wordpress.com/2009/10/24/penciptaan-bumi-dan-langit-serta-kelahiran-adam/.
Terimakasih kepada pengelolanya, dan mari kita renungkan isinya bersama ….
Khotbah No 1 dari Kitab Nahjul Balaghah
Segala
puji bagi Allah yang nilai-Nya tak dapat diuraikan oleh para
pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para penghitung,
yang hak-hak-Nya (atas ketaatan) tak dapat dipenuhi oleh orang-orang
yang berusaha menaati-Nya; orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat
menilai, dan penyelam pengertian tak dapat mencapai-Nya; la yang untuk
menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang
maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan.
la mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan
rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu.
Pangkal
agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan)
tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah
mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah
memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak
sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu
berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap
sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu.
Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia
mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia
memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui
bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya
(berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka
ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui
batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya
(berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.
Barangsiapa mengatakan “dalam
apa Dia berada”, (berarti) ia berpendapat bahwa Dia bertempat, dan
barangsiapa mengatakan “di atas apa Dia berada” maka ia beranggapan
bahwa Dia tidak berada di atas sesuatu lainnya.
Dia Maujud tetapi
tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. Dia ada tetapi bukan dari
sesuatu yang tak ada. Dia bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam
kedekatan fisik. Dia berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam
keterpisahan fisik. Dia berbuat tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat.
Dia melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. Dia hanya
Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya Dia
mungkin bersekutu atau yang mungkin Dia akan kehilangan karena
ketiadaannya.
Tentang Penciptaan Alam
Dia
memulai penciptaan dan memulainya secara paling awal, tanpa mengalami
pemikiran, tanpa menggunakan suatu eksperimen, tanpa melakukan suatu
gerakan, dan tanpa mengalami kerisauan. Dia memberikan waktunya pada
segala sesuatu, mengumpulkan variasi-variasinya, memberikan kepadanya
sifat-sifatnya, dan menetapkan corak wajahnya dengan mengetahuinya
sebelum menciptakannya, menyadari sepenuhnya batas-batasnya dan
kesudahannya, dan menilai kecenderungan dan kerumitannya.
Ketika
Yang Mahakuasa menciptakan lowongan-lowongan atmosfer, mengembangkan
ruang angkasa dan lapisan-lapisan angin, Dia mengalirkan ke dalamnya
air yang ombak-ombaknya membadai dan yang gelombang-gelombangnya saling
melompati. Dia memuatnya pada angin yang kencang dan badai yang
mematahkan, memerintahkannya untuk mencurahkannya kembali (sebagai
hujan), memberikan kepada angin kendali atas kekuatan hujan, dan
memperkenalkannya dengan batasan-batasannya. Angin meniup di bawahnya
sementara air mengalir dengan garang atasnya.
Kemudian Yang
Mahakuasa menciptakan angin dan membuat gerakannya mandul, mengekalkan
posisinya, mengintensifkan gerakannya dan menyebarkannya menjauh dan
meluas. Kemudian Dia memerintahkan angin itu membangkitkan air yang
dalam dan mengintensifkan gelombang laut. Maka angin mengocoknya
sebagaimana mengocok dadih dan mendorongnya dengan sengit ke angkasa
dengan melemparkan posisi depannya di belakang, dan yang berdiam pada
yang terus mengalir, sampai permukaannya terangkat dan permukaannya
penuh dengan buih. Kemudian Yang Mahakuasa mengangkat buih ke angin
yang terbuka dan cakrawala yang luas dan membuat darinya ketujuh langit
dan menjadikan yang lebih rendah sebagai gelombang yang berdiam dan
yang di atas sebagai atap yang melindungi dan suatu bangunan tinggi
tanpa tiang untuk menopang atau paku untuk menyatukannya. Kemudian Dia
menghiasinya dengan bintang-bintang dan cahaya meteor dan
menggantungkan padanya matahari dan bulan yang bercahaya di bawah langit
yang beredar, langit yang bergerak dan cakrawala yang berputar.
Tentang Penciptaan Malaikat
Kemudian
Dia menciptakan rongga-rongga di antara langit-langit yang tinggi dan
mengisinya dengan segala golongan malaikat-Nya. Sebagian dari mereka
dalam bersujud dan tidak bangkit berlutut. Yang lain-lainnya dalam
posisi berlutut dan tidak berdiri. Sebagian dari mereka dalam keadaan
berbaris dan tidak meninggalkan posisinya. Yang lain-lainnya sedang
memuji Allah tanpa menjadi lelah. Tidurnya mata atau tergelincirnya
akal, atau kelelahan tubuh atau kelupaan tidak menimpa mereka.
Di
antara mereka ada yang bekerja sebagai pembawa risalah-Nya yang
terpercaya, yang merupakan lidah-lidah berbicara untuk para nabi-Nya,
dan mereka ini yang membawa kesana kemari perintah-perintah dan
suruhan-Nya. Di antara mereka ada para pelindung makhluk-makhluk-Nya dan
pengawal pintu surga. Di antara mereka ada yang langkah-langkahnya
tetap di bumi tetapi lehernya menjulang ke langit, anggota badan mereka
keluar dari segala sisi, bahu mereka sesuai dengan tiang-tiang ‘Arsy
Ilahi, mata mereka tertunduk di hadapannya, mereka membentangkan
sayap-sayapnya dan mereka membuat di antara sesama mereka dan semua yang
selainnya tirai kehormatan dan layar kekuasaan. Mereka tidak
memikirkan Pencipta mereka melalui khayal, tidak memberikan kepada-Nya
sifat-sifat makhluk, tidak membataskan-Nya dalam suatu tempat kediaman
dan tidak menunjuk kepada-Nya melalui gambaran.
Gambaran tentang Penciptaan Adam as.
Allah
mengumpulkan lempung tanah yang keras, lembut, manis dan asam, yang
dicelupkan-Nya ke dalam air dan mengadoninya dengan uap lembab sampai
itu menjadi rekat. Darinya Dia membuat patung dengan lekukan-lekukan,
persendian, anggota dan bagian-bagian. la memadukannya sampai ia
mengering untuk waktu tertentu dan jangka waktu yang diketahui.
Kemudian la meniupkan ke dalamnya Ruh-Nya sehingga ia mengambil pola
manusia dengan pikiran yang mengaturnya, kecerdasan yang digunakannya,
anggota badan yang melayaninya, organ-organ yang mengubah posisinya,
kebijaksanaan yang membedakan antara yang benar dan salah, rasa dan
bau, warna dan jenis. la adalah suatu campuran antara lempung berbagai
warna, bahan-bahan rekat, yang berlawanan, yang aneka ragam dan
sifat-sifat yang berbeda seperti panas, dingin, lembut dan keras.
Kemudian
Allah menyuruh kepada malaikat untuk memenuhi janji-Nya dengan mereka
dan memenuhi janji menaati perintah-Nya kepada mereka dengan pengakuan
kepada-Nya melalui sujud kepada-Nya dan tunduk kepada kedudukannya yang
mulia. Maka Allah berfirman, “Tunduklah kamu kepada Adam!” Maka mereka
pun tunduk kecuali iblis.” (QS. 2:34; 7:11; 17:61; 18:50; 20:116).
Kesombongan
mencegah dia dan keburukan mengalahkannya. Maka ia membangga-banggakan
penciptaannya sendiri (yang) dari api dan bersikap menghina ciptaan
dari lempung. Maka Allah memberikan waktu kepadanya agar ia sepenuhnya
patut menerima kemurkaan-Nya, dan melengkapi ujian (pada manusia) dan
untuk memenuhi janji (yang telah diberikan-Nya kepada iblis). Maka la
berkata, “Sesungguhnya engkau telah diberi waktu sampai pada hari yang
diketahui. ” (QS. 15:37-38; 38:81)
Setelah itu Allah menempatkan
Adam di suatu rumah di mana Dia membuat kehidupannya senang dan
kediamannya aman, dan la memperingatkannya supaya berhati-hati terhadap
iblis dan musuhnya. Lalu musuhnya (iblis) merasa iri atas tinggalnya
di surga dan hubungan-hubungannya dengan yang bajik. Maka ia pun
mengubah keyakinannya menjadi goyah, dan tekadnya menjadi lemah. Dengan
demikian ia mengubah kebahagiaan Adam as. menjadi ketakutan, dan
martabatnya menjadi sesal dan malu. Kemudian Allah memberikan kepada
Adam as. kesempatan untuk bertaubat, mengajarkan kepadanya kata-kata
dari Rahmat-Nya, menjanjikan kepadanya untuk kembali ke surga-Nya dan
mengirimkannya ke tempat percobaan dan perkembangbiakan keturunan.
Allah Memilih Para Nabi-Nya
Dari
antara keturunannya, Allah Yang Mahasuci memilih nabi-nabi dan
mengambil janjinya untuk wahyu-Nya dan untuk menyampaikan risalah-Nya
sebagai amanat mereka. Dalam perjalanan waktu, banyak orang
menyelewengkan amanat Allah dan mengabaikan kedudukan-Nya, dan
mengambil serikat bersama-Nya. Iblis memalingkan mereka dari
mengenal-Nya dan menjauhkan mereka dari menyembah kepada-Nya. Kemudian
Allah mengutus rasul-rasul-Nya dan serangkaian nabi-Nya kepada mereka
agar mereka memenuhi janji-janji penciptaan-Nya, untuk mengingatkan
kepada mereka nikmat-nikmat-Nya, untuk berhujah kepada mereka dengan
tablig, untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan
kebijaksanaan yang tersembunyi, dan menunjukkan kepada mereka
tanda-tanda Kemahakuasaan-Nya, yakni langit yang ditinggikan di atas
mereka, bumi yang ditempatkan di bawah mereka, rezeki yang memelihara
mereka, ajal yang mematikan mereka, sakit yang menuakan mereka, dan
kejadian susul-menyusul yang menimpa mereka.
Allah
Yang Mahasuci tak pernah membiarkan hamba-Nya tanpa nabi diutuskan
kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada mereka atau
argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu
tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah
yang mendustainya. Di antara mereka ada pendahulu yang akan menyebutkan
nama yang akan menyusul atau pengikut yang telah dikenalkan oleh
pendahulunya.
Pengutusan Muhammad SAW
Secara
demikian zaman-zaman berlalu dan waktu terus bergulir, ayah pergi
sementara putra-putra mereka menggantikannya, sampai Allah mengutus
Muhammad SAWW sebagai rasul-Nya, dalam memenuhi janji-Nya dan untuk
melengkapi Kenabian-Nya. Janji-Nya telah diambil dari para nabi, tabiat karakternya termasyhur dan kelahirannya mulia. Manusia
bumi pada saat itu terbagi dalam berbagai kelompok, tujuan mereka
terpisah dan jalan-jalan mereka beraneka. Mereka menyerupakan Allah
dengan ciptaan-Nya atau menggeser nama-nama-Nya atau berpaling kepada
yang selain Dia.
Melalui Muhammad SAW, Allah memandu mereka keluar
dari kesalahan, dan dengan usahanya la membawa mereka keluar dari
kejahilan. Kemudian Allah memilih Muhammad SAW dan keturunannya, untuk
menemui-Nya, memilihnya untuk kedekatan kepada-Nya sendiri,
memandangnya terlalu mulia untuk tinggal di dunia ini, dan memutuskan
untuk mengeluarkannya dari tempat percobaan ini. la menariknya kepada
Diri-Nya sendiri dengan kemuliaan. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau dan keluarganya.
Al Quran dan Sunah
Tetapi
Nabi meninggalkan di antara Anda sesuatu yang sama sebagaimana yang
ditinggalkan nabi-nabi lain di antara umat mereka, karena nabi-nabi
tidak meninggalkan mereka dalam kegelapan tanpa jalan yang terang dan
panji yang tegak, yakni Kitab dari Pencipta Anda yang menjelaskan yang
halal dan haram, perintah-perintah dan keutamaan-keutamaannya, yang
menasakh dan yang dinasakh, hal-halnya yang halal dan yang wajib,
hal-halnya yang khusus dan umum, pelajaran dan amsalnya, yang panjang
dan singkatnya, yang jelas dan samamya, mendetailkan
singkatan-singkatannya dan menjelaskan yang samanya.
Di dalamnya
ada beberapa ayat yang pengetahuan tentangnya diwajibkan,[i] dan yang
lain-lainnya yang ketidaktahuan manusia tentangnya dibolehkan. la juga
mengandung apa yang nampak sebagai wajib menurut Kitab[ii ](2) tetapi
nasakhnya disuguhkan oleh sunah Nabi atau apa yang nampak sebagai wajib
menurut sunah Nabi tetapi Kitab membolehkan orang tidak mengikutinya.
Atau ada yang wajib pada suatu waktu tertentu tetapi tidak sesudahnya.
Larangan-larangannya juga berbeda. Ada yang berat, yang mengenainya ada
ancaman api (neraka), dan yang lainnya ringan, yang untuk itu terdapat
harapan keampunan. Ada pula yang dalam ukuran kecil dapat diterima
(bagi Allah) tetapi dapat membesar (bila diteruskan).
Dalam Khotbah yang Sama, tentang Haji
Allah
telah mewajibkan Anda berhaji ke Rumah Suci-Nya yang merupakan kiblat
bagi manusia yang pergi kepadanya sebagaimana hewan liar atau merpati
pergi ke sumber air. Allah Yang Mahasuci menjadikannya pertanda atas
ketundukan mereka di hadapan Keagungan-Nya dan pengakuan mereka akan
Kemuliaan-Nya. la memilih dari antara ciptaan-Nya orang-orang yang
ketika mendengar seruan-Nya menyambutnya dan mem-benarkan sabda-Nya.
Mereka berdiri pada posisi para nabi-Nya dan menyerupai para
malaikat-Nya yang mengelilingi Mahligai-Nya untuk mendapatkan segala
manfaat dari melaksanakan pengabdian kepada-Nya dan bergegas untuk
(mendapatkan) keampunan yang telah dijanjikan-Nya. Allah Yang Mahasuci
menjadikannya sebagai syiar bagi Islam dan objek penghormatan bagi
orang-orang yang berpaling ke situ. la mewajibkan hajinya dan meletakkan
klaimnya yang untuk itu la menuntut tanggung jawab Anda untuk
melaksanakannya. Dan Allah Yang Mahasuci berfirman, “Sesungguhnya rumah
yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitulldh yang di Bakkah
(Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia . ” (QS.
3:96)
==========================================================================================
[i]
“Pangkal agama (din) adalah makrifat tentang Dia .” Makna din ialah
ketaatan, dan makna populernya tatanan. Baik dalam makna harfiah,
ataupun populer, apabila pikiran kosong dari konsepsi Ketuhanan, tak
akan ada masalah ketaatan, tidak ada pula urusan dengan mengikuti suatu
aturan. Karena, bila tidak ada tujuan maka tidak ada alasan untuk
menuju ke sana; bila tidak ada tujuan yang diharap, tidak akan ada
usaha untuk mencapainya. Bagaimanapun, ketika fitrah dan naluri manusia
mendekatkannya kepada Yang Mahatinggi, dan rasa taat serta penyerahan
merendahkannya di hadapan Tuhan, ia merasa terikat dengan
batasan-batasan tertentu, berlawanan dengan kebebasan semena-mena.
Batasan-batasan inilah din, yang titik mulanya ialah pengetahuan tentang
Allah serta pengakuan atas Wujud-Nya.
Setelah menunjukkan
hakikat makrifat atau pengetahuan tentang Allah, Amirul Mukminin
menggambarkan pokok-pokok dan syarat-syaratnya. la menganggap bahwa
tahap-tahap pengetahuan yang umumnya dianggap sebagai titik pendekatan
tertinggi tidaklah mencukupi. la mengatakan bahwa tahap pertamanya
ialah dengan fitrah kerinduan kepada yang gaib dan bimbingan hati
nurani, atau dengan mendengar dari para penganut agama, terbentuklah
dalam pikiran suatu citra tentang Wujud Gaib yang dikenal sebagai
Allah. Gambaran ini sesungguhnya adalah pendahulu dari kewajiban
berpikir dan merenung serta mencari pengetahu an tentang Dia. Tetapi,
orang yang senang bermalas-malas, atau dalam tekanan lingkungannya,
tidak melakukan pencarian ini, sehingga walaupun ada tercipta citra
semacam itu, citra itu tidak sampai beroleh kesaksian. Dalam hal ini
mereka tidak mendapatkan pengetahuan, dan karena mereka tidak sampai
pada tahap panyaksian dan pembuktian atas pembentukan citra itu maka
pelanggaran mereka itu patut dimintai pertanggungan jawab. Tetapi, orang
yang digerakkan oleh kekuatan citra ini maju lebih jauh dan memandang
perlu berpikir dan merenungkannya.
Dengan jalan ini ia sampai ke
tahap berikut dalam mencapai pengetahuan Ilahi, yakni mencari Yang Maha
Pencipta melalui aneka ragam penciptaan dan makhluk, karena setiap
gambar merupakan pandu yang kuat menuju kepada penggambarnya, dan
setiap akibat merupakan hasil tindakan dari penyebabnya. Apabila ia
melemparkan pandangan ke sekitarnya, ia tidak mendapatkan suatu apa pun
yang menjadi ada tanpa tindakan si pembuat; ia tak dapat memperoleh
suatu jejak langkah tanpa pejalan yang meninggalkan jejak, tiada pula
bangunan tanpa pembangun. Bagaimana ia dapat memahami bahwa langit biru
ini, dengan matahari dan bulan di cakrawala, bumi dengan kelimpahan
rumputan dan bunga-bungaan dapat menjadi ada tanpa perbuatan Pencipta.
Oleh karena itu, setelah mengamati segala yang ada di dunia dan sistem
teratur dari seluruh penciptaan, orang tak dapat menyimpulkan lain
kecuali bahwa ada Pencipta atas keanekaragaman dan keberadaan dunia;
ini tak mungkin terjadi dari tak ada, tak ada keberadaan muncul dari
ketiadaan. Al Quranul Karim menunjukkan penalaran ini,
“Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi ?” (QS. 14:10)
Tetapi,
tahap ini pun tak akan cukup, apabila bukti-bukti adanya Allah ini
dicemari oleh kepercayaan akan ketuhanan sesuatu yang lain.
Tahap
ketiga, keberadaan-Nya diakui bersama kepercayaan akan Keesaan-Nya,
Tauhid. Tanpa ini maka kesaksian akan adanya Allah tak mungkin sempuma;
karena, apabila ada kepercayaan akan adanya banyak tuhan, maka la
tidak akan Esa, padahal la Esa. Nalarnya, bila ada lebih dari satu
tuhan maka akan timbul pertanyaan apakah salah satu darinya, atau
mereka semua bersama-sama menciptakan semua ciptaan ini. Apabila salah
satu darinya yang menciptakannya maka harus ada sebab yang
membedakannya dari yang lain; kalau tidak, ia akan mendapatkan kedudukan
istimewa tanpa alasan, yang tak dapat diterima akal. Apabila semua
telah menciptakannya secara bersama-sama maka posisinya hanya mempunyai
dua bentuk: ia tak dapat melakukan tugasnya tanpa pertolongan dari yang
lain, atau ia tidak memerlukan bantuan mereka.
Kasus pertama
berarti ia tidak mampu dan memerlukan bantuan pihak lain, sedang
kemungkinan kedua berarti bahwa ada beberapa pelaku bersama dari suatu
tindakan tunggal, dan kepalsuan tentang keduanya telah ditunjukkan.
Apabila kita anggap semua tuhan itu melaksanakan penciptaan dengan
saling membagi di antara sesamanya maka dalam hal ini tidak semua
ciptaan akan mempunyai hubungan dengan pencipta itu, karena setiap
makhluk hanya mempunyai hubungan dengan penciptanya sendiri, padahal
setiap makhluk harus mempunyai hubungan yang satu dan sama kepada semua
pencipta itu. Sebab, semua ciptaan harus memÂÂ punyai hubungan yang
satu dan sama kepada semua pencipta itu, karena semua ciptaan, dalam
kemampuannya untuk menerima pengaruh, dan semua pencipta, dalam
kemampuannya untuk menghasilkan pengaruh, harus sama. Singkatnya, tidak
ada jalan kecuali mengakui-Nya sebagai Esa; karena, bila ada banyak
penÂÂ cipta maka tidak akan ada apa pun lainnya, kehancuran pasti
menimpa bumi, langit dan segala sesuatu dalam penciptaan. Allah SWT
telah mengungkapkan argumen ini dalam kata-kata berikut:
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keÂÂ duanya itu telah rusak-binasa …. (QS. 21:22)
Tahap
keempat ialah bahwa Allah harus bebas dari segala cacat dan
kekurangan, dan kosong dari jasad, bentuk, gambaran, kesamaan, kedudukan
tempat dan waktu, gerak, diam, ketidakmampuan dan ketidaktahuan. Tak
mungkin ada kekurangan atau cacat pada Wujud yang sempurna itu, tiada
pula yang dapat disamakan dengan Dia, karena sifat cacat itu menurunkan
Wujud dari posisi tinggi Pencipta ke posisi rendah ciptaan. Itulah
sebabnya maka Keesaan dan Kesucian Allah dari segala kekurangan adalah
sama pentingnya.
“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan. dan tidak ada seorang pun yang
setara dangan Dia .’” (QS. 112:1-4)
“Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan
Dialah Mahahalus lagi Mahatahu .” (QS. 6:103)
“Maka janganlah
kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui .” (QS. 16:74)
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat .” (QS. 42:11) .
Tahap
kelima penyempurnaan pengetahuan tentang Dia ialah sifat-sifat itu
harus tidak dilekatkan kepada-Nya dari luar, supaya tidak ada kegandaan
dalam Keesaan-Nya, dan bila kita menyimpang dari konotasinya yang
semestinya tentang Keesaan, kita mungkin jatuh ke dalam jebakan satu
dalam tiga dan tiga dalam satu; karena Wujud-Nya bukanlah suatu
kombinasi hakikat dan bentuk maka sifat-sifat itu tak dapat melekat
pada-Nya seperti bau dalam bunga atau cahaya pada bintang. la adalah
sumber segala sifat dan tidak memerlukan perantara untuk perwujudan
Sifat-sifat-Nya yang sempuma. la dinamakan Maha Mengetahui karena
tanda-tanda pengetahuan-Nya nyata. la dinamakan Mahakuasa karena setiap
partikel menunjukkan Kemahakuasaan dan kegiatan-Nya, dan bila pada-Nya
disifatkan Kemampuan untuk mendengarkan atau melihat, hal itu
disebabkan kepaduan antara seluruh penciptaan dan pengurusannya tidak
dapat dilakukan tanpa mendengar atau melihat; tetapi adanya sifat-sifat
ini pada-Nya tidak dapat dipandang sama dengan yang ada pada ciptaan,
yakni tidaklah la baru dapat mengetahui setelah la beroleh pengetahuan,
atau baru berkuasa setelah tenaga masuk ke dalam anggota-Nya, karena
mengambil sifat sebagai terpisah dari Wujud-Nya akan mengandung makna
ganda, dan di mana ada kegandaan maka keesaan menghilang. Itulah
sebabnya Amirul Mukminin menolak ide sifat-sifat sebagai tambahan kepada
Wujud-Nya; ia mengajukan Keesaan (Tauhid) dalam maknanya yang
sesungguhnya, dan tidak mengizinkan Tauhid dinodai dengan kemajemukan.
Hal
ini tidak berarti bahwa sifat-sifat sama sekali tak dapat diatributkan
kepada-Nya, karena ini akan memberikan dukungan kepada orang-orang
yang meraba-raba di jurang gelap negativisme, sekalipun setiap penjuru
dan sudut di seluruh eksistensi melimpah dengan sifat-sifat-Nya dan
setiap zarah ciptaan menyaksikan bahwa la mempunyai pengetahuan, la
berkuasa, la mendengar, la melihat. la memelihara dan mengizinkan
pertumbuhan dengan rahmat-Nya. Maksudnya ialah bahwa bagi Dia tak ada
sesuatu yang dapat disarankan sebagai tambahan kepada-nya, karena
diri-Nya meliputi sifat-sifat, dan sifat-sifat-Nya bermakna diri-Nya
meliputi sifat-sifat. Marilah kita pelajari tema ini dalam kata-kata
Imam Ja’far ibn Muhammad ash-Shadiq (as) dengan membandingkannya dengan
keimanan akan Keesaan yang ditempuh oleh paham-paham lain, kemudian
menilai siapakah pembela konsep Tauhid yang sesungguhnya.
Imam Ja’far Shadiq mengatakan,
“Allah
Yang Mahasuci dan Mahatinggi sejak semula telah mempunyai penge-tahuan
sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu untuk diketahui, (memÂÂ
punyai) penglihatan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu untuk
dilihat, (mempunyai) pendengaran sebagai Diri-Nya, sekalipun tiada
sesuatu untuk didengar, mempunyai kekuasaan sebagai Diri-Nya, sekalipun
tidak ada sesuatu di bawah kekuasaan-Nya. Ketika la menciptakan
benda-benda dan obyek pengetahuan menjadi nyata, pengetahuan-Nya
menjadi berhubungan dengan yang diketahui, pendengaran dengan yang
didengar, penglihatan dengan yang dilihat, dan kekuasaan dengan
objek-objeknya. ” (Syeikh Shaduq, at-Tauhid, hal. 139)
Para imam
Ahlulbait sepaham dalam kepercayaan ini, tetapi kalangan mayoritas
telah menempuh jalan berbeda dengan menciptakan gagasan pembedaan
antara Diri-Nya dan Sifat-sifat-Nya. Asy-Syahristani menulis dalam
bukunya Kitab al-Milal wa an-Nihal,
“Menurut Abul Hasan
Al-Asy’ari, Allah mengetahui melalui (sifat) tahu, Kuasa melalui
kegiatan, berbicara melalui bicara, mendengar melalui pendengaran, dan
melihat melalui penglihatan .”
Apabila kita memandang sifat-sifat
berbeda dan Diri-Nya secara ini, maka akan ada dua alternatif:
sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula atau sifat-sifat itu
terjadi kemudian. Apabila sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak
semula, kita terpaksa mengakui objek-objek itu kekal sejauh sifat-sifat
itu, yang semuanya bersaham dengan-Nya dalam kekekalan, tetapi
“Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutuan “. (QS. 9:31) Apabila
kita menganggap bahwa sifat-sifat itu baru terjadi kemudian maka, di
samping menundukkan-Nya pada perubahan-perubahan itu, akan berarti pula
bahwa sebelum mendapatkan sifat-sifat itu la tidak tahu, tidak kuasa,
tidak mendengar, dan tidak melihat, dan ini bertentangan dengan ajaran
Islam yang mendasar.
[ii] Tentang Al Quran, Amirul Mukminin
berkata bahwa ia mengandung uraian tentang perbuatan-perbuatan yang
halal dan yang haram, seperti firman Allah:
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ….” (QS. 2:275)
“Maka
apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa) ….”
(QS. 4:103)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik
dari apa yang ter-dapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang
nyata bagimu .” (QS. 2:168)
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini
hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal
kepada Tuhannya.dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadat kepada Tuhannya .’” (QS. 18:110)
“Mengapa kamu suruh
orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu
sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu
berpikir ?” (QS. 2:44)
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba .” (QS. 2:275)
Ia menjelaskan perbuatan-perbuatan yang wajib dan sunah, seperti:
“Apabilah
kamu telah menyelesaikan shalat (takut), ingatlah akan Allah di waktu
kamu berdiri, duduk atau berbaring, dan bilamana kamu merasa aman (dari
musuh) maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa) .” (QS. 4:103)
Di
sini shalat (mengingat Allah) adalah wajib, sementara bentuk-bentuk
lainnya dalam mengingat Allah adalah sunnah. Ia mengandung ayat-ayat
yang nasikh dan mansukh, seperti masa iddah setelah kematian suami
“empat bulan sepuluh hari”, (QS. 2:234) atau yang mansu-kh seperti
“hingga setahun lamanya tanpa disuruh pindah (dari rumah) ”, (QS.
2:240) yang menunjukkan bahwa masa iddah itu harus setahun.
Di
tempat-tempat tertentu ia menghalalkan yang haram, seperti, “Maka
barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”. (QS. 5:3)
la
mengandung perintah-perintah yang khusus dan umum. Khusus ialah
perin-tah di mana kata itu menunjukkan keumuman tetapi maknanya
terbatas, seperti, “Aku telah melebihkan kamu (Bam Isra’il) atas seisi
dunia .” (QS. 2:47) Di sini kata dial- ‘alamin (seisi dunia) terbatas
pada masa tertentu itu, walaupun kata itu umum dalam makna harfiahnya.
Perintah-perintah
yang umum ialah perintah yang luas dalam pengertiannya, seperti,
“‘Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu .” (QS. 4:32)
la mengandung pelajaran dan gambaran, seperti:
“Allah menghukum di dunia ini dan yang akan datang, dan di situ terdapat pelajaran .” (QS. 79:25-26)
“Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia .” (QS. 78:25)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya) ”. (QS. 79:26)
“Perkataan
yang baik dan pemberian maaflebih baik daripada sedekah yang diiringi
dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya
lagi Maha Penyantun ”. (QS. 2:263)
Dan (ingatlah), ketika Kami
mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di
atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami
berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar
kamu bertakwa .” (QS. 2:63)
Maka Kami jadikan yang demikian itu
peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang
kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa . (QS.
2:66)
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit . (QS. 3:5)
Taat
dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka).
Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi
jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian
itu lebih baik bagi mereka . (QS. 47:21)
Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa
danjanganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan
mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak . (QS. 4:19)
Katakanlah:
“Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia
adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu
amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.” (QS. 2:139)
Terdapat pelajaran di dalamnya bagi orang yang bertakwa kepada Allah.” (QS. 3:138)
Ayat
yang berisi gambaran misalnya, “Misal orang-orang yang menafkahkan
harta bendanya di jalan Allah adalah ibarat sebutir benih yang
menumbuhkan lima butir yang masing-masing butir mengandung seratus
butir ,” (QS. 2:261)
la mengandung ayat-ayat yang kha-sh dan ‘a-m.
‘A-m ialah ayat yang tidak mengandung batasan tentang spesifikasi,
seperti, “Ingatlah ketika Musa mengatakan kepada kaumnya, ‘Allah
memerintahkan kamu untuk menyembelih seekor sapi betina .’” (QS. 2:67)
Ayat
yang kha-sh ialah ayat di mana penujukannya terbatas, seperti, “bahwa
sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk
membajak tanah maupun mengairi tanaman “. (QS. 2:71)
Ada ayat
muhkama-t dan mutasya-biha-t di dalamnya. Ayat muhkama-t ialah ayat
yang tidak ada kerumitan di dalamnya, seperti, “Sesungguhnya Allah
berkuasa atas segala sesuatu,” (QS. 33:27) sedang ayat mutasya-biha-t
ialah yang pengertiannya mengandung komplikasi, seperti, “Yang Rahman
yang bersemayam di ‘arsy” (QS. 20:5), yang arti lahiriahnya memberi
kesan seakan-akan Allah secara jasmani duduk di singgasana padahal
maksudnya ialah untuk menekankan wewenang dan kekuasaan-Nya.
Di
dalamnya ada perintah-perintah singkat, seperti, “Dirikanlah shalat,”
(QS. 17:78) dan yang mengandung makna yang mendalam, seperti ayat-ayat
yang mengatakan, “Dan tiadalah yang mengetahui takwilnya selain Allah
dan orang-orang yang mendalam ilmunya .” (QS. 3:7)
Kemudian Amirul
Mukminin meluaskan tema ini dalam gaya lain dengan mengatakan bahwa
ada beberapa hal di dalamnya yang wajib diketahui, seperti, “Maka
ketahuilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah .” (QS. 47:19), dan ada
lain-lain yang tidak perlu diketahui, seperti “alif la-m mi-m” (QS.
2:1) dan sebagainya.
la juga mengandung perintah-perintah yang
telah diulang-ulang oleh sunah Nabi, seperti, “Tentang
perempuan-perempuan kamu yang berbuat zina, ambillah empat saksi
laki-laki dan, apabila empat saksi itu datang, kurunglah perempuan itu
hingga ajal mengakhiri hidupnya .” (QS. 4:15) Hukuman ini berlaku di
masa dini Islam, tetapi kemudian diganti dengan rajam dalam hal wanita
bersuami.
Di dalamnya ada beberapa perintah yang menasakh
perbuatan Nabi, seperti, “Hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram ” (QS.
2:149) yang dengan itu perintah untuk berkiblat ke Baitul Maqdis
dinasakh.
la juga mengandung perintah-perintah yang hanya wajib
pada masa waktu tertentu, yang sesudahnya perintah itu berakhir,
seperti, “Apabila seruan untuk shalat dilakukan pada hari Jumat, maka
bergegaslah kamu mengingat Allah.” (QS. 62:9) la juga menunjukkan
derajat-derajat larangan seperti pembagian dosa dalam yang ringan dan
yang berat—yang ringan seperti “katakanlah kepada orang-orang mukmin
untuk merendahkan matanya” (QS. 24:30), dan yang berat seperti
“barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka imbalannya
ialah tinggal di neraka selama-lamanya “. (QS. 4:39) la juga berisi
perintah-perintah di mana sedikit pelaksanaannya sudah cukup, tetapi
ada kesempatan untuk pelaksanaan lebih jauh, seperti, “Bacalah Al Quran
sebanyak yang dapat kamu lakukan dengan mudah. ” (QS. 73:20)
Katakanlah
kapada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetaui apa yang
mereÂÂ ka perbuat.” (QS. 24:30)
Tidaklah sama antara mukmin yang
duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyui uzur dengan
orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka
danjiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjiÂÂ had dengan harta
dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada
masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surgu) dan
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan
pahala yang besar. (QS. 4:95)
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui
bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam,
atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan
dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam
dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat
menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan
kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagi-mu) dari Al Quran.
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;
dan orang-orang yang lain lagi yung berperang di jalan Allah, maka
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman yang baik. Dan
kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperolehnyu di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang
paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhÂÂ
nya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 73:20)
Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang . (QS. 26:9).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar