Rabu, 02 November 2011

Ahlus Sunnah Menetapkan Ma‘iyyah (Kebersamaan Allah)

AHLUS SUNNAH MENETAPKAN MA'IYYAH (KEBERSAMAAN ALLAH)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

"Dan tidaklah terjadi pembicaraan yang rahasia antara tiga orang, melainkan Allah yang keempatnya, dan tidak terjadi pembicaraan antara lima orang, melainkan Allah yang keenamnya, dan tidak pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada...” [Al-Mujaadilah: 7]

Allah Subhanah tetap bersama mereka di mana saja mereka berada, yaitu Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.

Ma’iyyah Ada Dua Macam.

Pertama: Ma‘iyyah Khusus.
Yaitu kebersamaan Allah dengan sebagian makhluk-Nya yang kita tidak tahu tentang kaifiyatnya, kecuali Allah, seperti seluruh Sifat-Sifat-Nya. Ma’iyyah ini mengandung makna bahwa Allah meliputi hamba-Nya yang dicintai, menolongnya, memberikan taufiq, menjaganya dari kebinasaan dan lainnya sebagaimana diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dan berbuat baik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” [An-Nahl: 128]

Kedua: Ma‘iyyah Umum.
Yaitu kebersamaan Allah dengan seluruh makhluk-Nya, di mana Allah mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya dan Allah mengetahui semua keadaan mereka, mengetahui tindak-tanduk mereka yang lahir maupun bathin, dan yang seperti ini tidak berarti Allah bersatu dengan hamba-Nya, karena Allah tidak dapat diqiyaskan dengan hamba-Nya. Dan tingginya Allah di atas makhluk-Nya tidak menafikan (meniadakan) kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya, berbeda dengan makhluk-Nya, karena keberadaan makhluk di satu tempat (arah), pasti dia tidak tahu tempat (arah) yang lainnya. Allah tidak sama dengan sesuatu apa pun karena kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya.

"Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa’ (bersemayam) di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Hadiid: 4]

Pengertian “Allah bersamamu,” bukanlah berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala bersatu, bercampur atau bergabung dengan makhluk-Nya, karena hal ini tidak dibenarkan secara bahasa serta menyalahi ijma’ Salafush Shalih, dan hal ini bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan bulan sebagai satu tanda dari tanda-tanda (kebesaran dan ketinggian) Ilahi, yang termasuk di antara makhluk-Nya yang terkecil yang terletak di langit, ia (bulan) dikatakan bersama musafir di mana saja musafir itu berada meskipun ia berada di ketinggian sana.

Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan Allah tetap mengawasi makhluk-Nya, mengamati (gerak-gerik) mereka, serta mengintai (memperhatikan) perbuatan mereka.

Termasuk dalam hal ini adalah mengimani bahwa Allah itu dekat dan Dia mengabulkan (setiap do’a hamba-Nya).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

"Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a kepada-Ku.” [Al-Baqarah: 186]

Apa yang telah dituturkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, bahwa Allah dekat dan bersama makhluk-Nya, tidaklah bertentangan dengan yang Allah firmankan, bahwa Allah Mahatinggi dan bersemayam di atas ‘Arsy, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala Sifat-Sifat-Nya. Dia Mahatinggi dalam kedekatan-Nya, tetapi dekat dalam ketinggian-Nya.[1]

Hal ini disebutkan dalam sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

"... Sesungguhnya Allah Yang engkau berdo’a kepada-Nya, lebih dekat kepada seseorang di antara kamu daripada leher binatang tunggangannya.”[2]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat at-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 63-66) oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dan Syarah ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 167) oleh Khalil Hirras.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 2992, 4202, 6384, 6409, 6610), Muslim (no. 2704 (46)) dan Ahmad dalam Musnadnya (IV/402), dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu. Lafazh hadits ini milik Ahmad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar