Sejarah Haqiqat Al-Muhammadiyah
Nur Muhammad adalah
salah satu teori dan tema pokok (kalau bukan satu-satunya tema pokok)
dari profetologi tasawuf yang dikenal sejak masa awal Islam hingga abad
modern ini.[1]
Nur Muhammad telah dikenal sejak Nabi
masih hidup. Ketika itu, Jabir bin Abdullah bertanya kepada Nabi
Muhammad saw. Tentang apakah yang paling awal diciptakan oleh Allah
Swt. Nabi menjawab:
ياجابر ان الله اتعالى خلق قبل الاشياء نور نبيك مِنْ نُوْرِهِ.
Artinya:
“Ya jabir, sesungguhnya Allah swt; sebelum menciptakan segala sesuatu
lebih dahulu diciptakan cahaya Nabimu (Nur Muhammad) dari Nur Allah.” (
HR. Abd al-Razzaq al-San’any)”.[2]
Belakangan Nur
Muhammad sebagai konsep dilontarkan oleh al Hallaj. Sebelumya, Nur
Muhammad juga pernah di ungkapkan oleh Dzun Nun Al-Mishri (w. 283 H
/860 M), seorang sufi penggagas teori al-Ma’rifah. Ia berpendapat bahwa
: “… asal mula ciptaan Allah (makhluk) adalah Nur Muhammad.”
Pemikiran
semacam ini juga dapat di jumpai pada pendapat Abu Muhammad Sahl Ibn
Abdullah al-Tusturi, salah seorang sufi yang wafat pada tahun 283 H.[3]
Dari
rentetan uraian tersebut secara sejarah, teori Nur Muhammad ini
nampaknya sudah muncul akhir abad kedua Hijriyah, meskipun masih dalam
bentuk peristilahan harfiah semata. Namun demikian, pemikiran awal yang
dapat dipertimbangkan adalah bahwa esensi kata Nur Muhammad dijadikan
pijakan dasar bagi asal mula kejadian alam semesta ini. Tatanan
pemikiran itu walaupun belum merupakan suatu konsep yang lengkap dan
utuh, tetapi pada dasarnya memiliki kesesuaian dengan sebuah teori yang
kemudian ditampilkan oleh al-Hallaj.
Al-Tusturi merupakan
orang pertama yang mengajari al-Hallaj mengenai dasar-dasar suluk
(jalan menuju kesempurnaan batin). Oleh karenanya, tidaklah mustahil
jika teori yang dikembangkan al-Hallaj merupakan tindakan lanjut dari
pendapat al-Tusturi.
Di sisi lain, meskipun istilah Nur Muhammad
tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun di duga keras para ahli sufi
mengambil pijakan argumentasi dari firman Allah swt.
Allah
(pemberi) Nur (cahaya) kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah
adalah laksana Misykat (lubang yang tak tembus), di dalamnya berada
pelita besar (mishbah). Menurut al-Tusturi, maksud kata matsalu
Nuri-hi, perumpamaan cahaya (Nur)-Nya, adalah perumpaan Nur Muhammad
saw.[4]
Sedang Ibn ‘Arabi menginterprestasikan dengan ruh
al-alam, suatu padanan makna dari term Nur Muhammad. Menurut Ibnu
Arabi yang pertama-tama diwujudkan Allah adalah Nur Muhammad atau
Haqiqat Muhammad. Ia memberikan nama tidak kurang dari sepuluh yang
identik dengan Haqiqat Muhammad ( al-haqiqah al-Muhammadiyyah ), ( The
Reality of Muhammad ) yaitu : Haqiqah al-Haqaiq ( The Reality of
Reality ), Ruh Muhammad ( The Spirit of Muhammad ), al-Aql al-Awwal =
Plotinus Nous ( The First Intelectual ), al-Arash ( The Throne ),
al-Ruh al-‘Azam ( The Most Might Spirit ), al-Qalam al-A’la ( The Most
Exalted ), al-Khalifah ( The Vicegerent ), al-Insan al-Kamil ( The
Perfect Man ), Azl al-‘Alam ( The Origin of Universe ), Adam al-Haqiqi (
The Real Adam ), al-Barzakh ( The Intermediary ), Falaq al-Hayah ( The
Spere of Life ), al-Haq al-Makhluq bih ( The Real Who Is The
Instrument of Creation ),al-Hayula ( The Prima Matter ), al-Ruh ( The
Spirit ), Al-Qutb ( The Pole ), Abd al-Jami’ ( The Servant of The
Embracing )dan sebagainya. Nur Muhammad bertajalli dari Nur Zat-Nya.
Nur Muhammad merupakan wadah tajalliyang paling sempurna dan karena itu
ia dipandang sebagai Khalifah Allah atau Insan Kamil yang paling
khas.[5]
Selain Hallaj dan Ibn ‘Arabi, muncul tokoh
lainnya, yaitu Abd al-Karim al-Jilli, pengarang kitab termasyhur, yaitu
Insan al-Kamil. Ia dikenal sebagai seorang sufi dari kota al-Jilan,
yang masih keturunanSyekh Abd. Qadir al-Jailani. Ia memajukan
konsepinsan kamil yang pada prinsipnya tidak bertentangan dengan
pendahulunya, Ibn Arabi, dalam memandang Nur Muhammad.
Kemudian
yang sangat menarik untuk disimak ialah dalam perkembangan selanjutnya
Syekh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhani tampil menggagas Nur Muhammad yang
berbada dengan pandangan ulama sufi sebelumnya. Gagasan-gagasan segar
yang dilontarkan itu, selanjutnya dituangkan dalam karya-karyanya,
antara lain:
• Jawahir al-Bihar fi fadha’il al-Nabiy al-Mukhtar.
• al-anwar al-Muhammadiyah min al-mawahib al-Laduniyah
• Hujjat Allah ‘ala al-alamin fi mu’jizat Sayyid al-muasalim.
Syekh
Yusuf al-Nabhani adalah seorang tokoh Ulama yang masyhur dan
berpengaruh serta dihormati pada zamannya, terutama di Libanon,
negara-negara Arab pada khususnya dan negara Islam pada umumnya. Sebagai
ulama yang berpengaruh dan disegani oleh pemerintah masyarakat
Libanon, dia pun diangkat untuk menjabat sebagai hakim tinggi (Qadhi
al-Qudhat) pada abad ketiga belas Hijriyah atau delapan belas
masehi.[6]
Di era modern ini, studi tentang Nur Muhammad
juga dilakukan oleh Annemarie Schimmel -seorang peneliti barat yang
sangat otoritatif dalam kajian tasawuf dan sangat simpatik terhadap
Islam dan Nabi Muhammad saw;- Secara khusus, ia menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad itu menempati kedudukan sebagai manusia sempurna. Allah
mencipta mikrokosmos manusia sempurna atau Insan Al-Kamil.
A.Schmmel
mengkaji Nur Muhammad secara khusus dalam karyanya, And Muhammad is
his messenger,1993. Peneliti kawakan yang sudah pernah berkunjung ke
Indonesia ini, menelusuri berbagai pandangan para sufi tentang Nur
Muhammad. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam tradisi dan khazanah
tasawuf sangat kaya dengan informasi Nur Muhammad. Kajian Nur Muhammad
telah mengalami perkembangan dan pemaknaan yang demikian pesatnya.[7]
Braginsky lebih tegas lagi menyatakan hubungan Nur Muhammad dengan Nabi Muhammad saw, sendiri sebagai berikut:
Nabi
Muhammad sebagai haqiqat Muhammad atau Nur Muhammad (Muhammad sebagai
logos) menjadi perantara dalam proses Penciptaan itu. Dia menghubungkan
al-Khalik, yang tidak mungkin terjangkau dengan manusia.Seperti batang
yang menjadi penyangga dahan-dahannya. Nur Muhammad, yang melaluinya
segenap ilmu ilahi dinyatakan untuk pertama kali, menjadi landasan bagi
segala yang diciptakan sesudahnya.[8]
Syekh Yusuf
al-Nabhani mengemukakan bahwa Nur Muhammad adalah makhluk pertama yang
diciptakan Allah dan beredar sedemikian rupa sesuai dengan kehendakNya.
Pendapat ini mengacu kepada haditsyang diriwayatkan oleh Abd al-Rozak
sebagai berikut :
Abd al-Rozak telah meriwayatkan dengansanadnya yang berasal dari Jabir bin Abdullah ra. Berkata :
Saya
telah mengatakan : Hai Rasulullah, Demi Bapak ku, Engkau dan Ibu,
beritahukanlah kepada ku tentang sesuatu yang pertama diciptakan oleh
Allah swt. Sebelum terciptanya segala sesuatu yan lainnya.
Ia
menjawab : Hai Jabir, sesungguhnya Allah swt; telah menciptakan
sebelum terciptanya segala sesuatu itu Nur Nabi mu yang berasal dari
Nur Nya ( Nur Allah ) maka jadilah cahaya itu beredar dengan ketentuan
menurut kehendakAllah, sementara pada waktu itu belum ada batu tulis,
pena, surga, neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bangsa
jin, dan bangsa manusia. Maka ketika Allah ingin menciptakan makhluk
Dia (Allah) membagi Nur itu menjadi empat bagian,lalu Dia menciptakan
dari bagian yang pertama itu pena dan dari bagian yang kedua batu
tulis, dari bagian yang ketiga Arasy, kemudian Dia membagi bagian yang
keempat itu menjadi empat bagian lagi, lalu Dia menciptakan dari bagian
yang pertama itu penyangga Arasy, dari bagian yang kedua itu kursi dan
dari bagian yang ketiga para malaikat yang tersisa (tertinggal),
kemudian Dia membagi lagi bagian yang keempat itu menjadi empat bagian
lagi, lalu dari bagian yang pertama Dia menciptakan langit, dan dari
bagian yang kedua Dia menciptakan bumi, dan dari bagian yang ketiga Dia
menciptakan surge dan neraka, kemudian bagian yang keempat dibagi lagi
menjadi empat bagian, lalu dia menciptakan dari bagian yang pertama
itu cahaya penglihatan orang-orang mukmin, dan dari bagian yang kedua
Dia menciptakan cahaya hati mereka yaitu berupa pengenalan ( Ma’rifat )
kepada Allah swt. Dan dari bagian yang ketiga Dia menciptakan cahaya
kebahagiaan ( kesenangan ) mereka yaitu berupa hikmah tauhid ;
lailaahaillallaah Muhammadurrasuulullah.[9]
Pendapat
Syekh Yusuf An-Nabhani yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah
ciptaan Allah yang beredar dan kemudian terciptalah makhluk lainnya.
Selengkapnya dapat disimak pada kutipan berikut:
Kalau
saudaranya bertanya, apa makna perkataan mereka bahwa sesungguhnya Nur
Muhammad saw. Itu adalah ciptaan Allah yang pertama, apakah yang
dimaksud penciptaan secara khusus atau maksudnya adalah pencptaan
secara mutlak, maka jawabannya adalah sebagaiman yang telah dikatakan
oleh al- Syekh pada bab ke enam bahwa sesungguhnya maksudnya adalah
ciptaan(kejadian) yang bersifat khusus. Dan yang demikian itu adalah
bahwa yang pertama diciptakan oleh Allah adalah debu halus (haba) yang
pertama kali muncul di dalamnya adalah haqiqat Muhammad saw. Sebelum
munculnya seluruh wujud haqiqat yang lain.[10]
Tentang
awal penciptaan, Syekh Yusuf al-Nabhani juga mengutip beberapa
hadits[11] yang olehnya dikategorikan sebagai hadits yang masyhur
dikalangan sufi. Hadits yang dimaksud ialah :
Yang
pertama di ciptakan oleh Allah adalah ruh-Ku, termasuk hadits masyhur;
yang pertama diciptakan oleh Allah adalah Nur-Ku termasuk hadits Hasan;
yang pertama diciptakan olehAllah adalah akal termasuk hadits masyhur.
Pada bagian lain Al-Nabhani juga mengatakan:
Sesungguhnya yang pertama diciptakan olehAllah adalah al-Haba’ dan yang pertama tampak padanya adalah haqiqat Muhammad.
Kemudian al-Nabahni menjelaskan bahwa proses awal terciptanya sesuatu di muka bumi, melalui Nur Muhammad, komentarnya:
Dan ini adalah awal maujud di alam ini, kemudian Allah menampakan diri-Nya melalui Nur-Nya pada al-Haba.
Selain
kedua istilah yang digunakan tersebut, al-Nabhani juga menggunakan
istilah bahwa Muhammad saw; itu adalah Nur dzat semata. Yaitu, bahwa
Muhammad adalah citra Tuhan. Ia mengacu kepada sabda Nabi:
وَقَدْ
قَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ الْمُؤْ مِنُ مِرْ اَةُ
الْمُؤْمِنُ اَى هُوَ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسلَّم مِرْاَةُ رَبِّهِ.
Artinya
: Rasulullah telah bersabda orang mukmin itu merupakan cermin bagi
orang mukmin, artinya dia (Muhammad saw;) itu merupakan cerminan
Tuhannya yang tampak di dalamnya.
Sehubungan dengan hadits tersebut di atas, dijelaskan bahwa penampakan dzat yang hakiki hanya khusus bagi Nabi Muhammad saw; :
وَاَنْ تَجَلَّى الذِاتِى الْحَقِيْقَةِ مُخْتَصٌ بِهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم لَيْسَ لِغَيْرِهِ فِيْهِ ...
Artinya:
Dan bahwa tajalli (penampakan) dzat itu secara esensial (haqiqi) itu
di khususkan kepada Muhammad saw., bukan untuk selainnya.
Dalam pandangan tersebut di atas bahwa mula pertama nampak dalam alam ini adalah haqiqat al-Muhammadiyyah dan al-Haba’.
Tentang awal proses dari Nur Muhamamd itu, dapat diperhatikan kutipan berikut:
Sebagai
penghormatan kepada Muhammad saw., karena sesungguhnya nur-nya(Nur
Muhamamd) telah berpindah dari Adam kepada Syiz, dan sebelum wafatnya
dia telah menjadikannya sebagai wasiat terhadap putranya, kemudian Syiz
juga telah mewasiatkan wasiat Adam tersebut kepada putranya untuk tidak
Meletakan Nur ini kecuali pada wanita-wanita yang di sucikan. Dan
wasiat ini senantiasa berlangsung dalam keadaan yang di pindahkan dari
suatu abad ke abad yang lain sampai Allah menyerahkan (memberikan) nur
itu kepada Abdul Muthalib dan putranya yaitu Abdullah.[12]
Dari
uraian di atas menujukan bahwa untuk peristilahan Nur Muhammad,
digunakan pula istilah lain sebagai penegas keberadaanya, yaitu ruh
Muhammad, Nur-Ku, al–Aql al-Awwal, al-Haba’ istilah-istilah ini pada
dasarnya disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian
menggunakan istilah Nur Dzat atau citra Tuhan. Apabila pandangan
Al-Nabhani ditelusuri, maka dapat diketahui bahwa bahasa dan istilah
yang digunakannya berbeda-beda meskipun tetap menunjukan kepada makna
dan pengertian yang sama, yaitu Nur Muhammad atau Nabi Muhammad saw.,
Bahasa atau istilah yang dimaksud adalah bersumber dari redaksi hadits
yang telah disebutkan.
Dari keterangan tersebut di atas,
maka dapat dipahami bahwa pengertian Nur Muhammad itu adalah ciptaan
Allah yang pertama dari Nur yaitu Dzat-Nya.Nur Muhammad itulah yang
menjadi sumber makhluk (al-Maujud) dan beredar atas kehendak Allah. Nur
itu di sebut juga ruh Muhammad, al-Aql al-Awwal, ruh, dan al-Haba’
semuanya di dasarkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai washitah
(penghubung) antara Allah dan hamba-Nya.
Sejalan dengan
pemikiran para sufi di atas,menurut Syekh Ahmad al-Tijani pada dasarnya
ruhSayyidina Muhammad adalah awal segala sesuatu yang diciptakan
Allah, dan melalui perantara ruh inilah terjadi seluruh Alam.
Pada
bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa Nur Nabi Muhammad
saw., telahwujud sebelum makhluk lain ada, bahkan Nur ini merupakan
sumber semua Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan Nur Nabi Muhammad saw., menurutSyekh Ahmad
al-Tijani adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyah.
Selanjutnya
dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak seorangpun dalam martabat
al-Haqiqat al-Muhammadiyah bisa mengetahuinya secara utuh. Pengetahuan
orang shalih (Wali, Sufi) terhadap al-Haqiqat al-Muhammadiyah ini
berbeda-beda sesuai dengan maqamnya masing-masing. Dalam hal iniSyekh
Ahmad al-Tijani mengatakan :
...طائفة غاية ادراكهم نفسه صلى الله
عليه وسلم وطائفة غايةادراكهم قلبه صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية اداكهم
عقله صلى اللهعليه وسلم وطائفة وهم الاعلون بلغوا الغاية القصوى فى
الادراكفادركوا مقام روحه صلى الله عليه وسلم.
“Diantara
wali Allah ada yang hanya mengetahui jiwanya (al-Nafs) saja, ada juga
yang sampai pada tingkat hatinya (al-Qalb), ada juga yang sampai pada
tingkat akalnya (al-Aql), danmaqam yang tertinggi adalah wali yang bisa
sampai mengetahui tingkat ruhnya; tingkat ini merupakan tingkat
penghabisan (al-Ghayat al-Quswa).”[13]
Rumusan mengenai
Ruh Muhammah, NurMuhammad, (haqiqat al-Muhammadiyyah) ditegaskanSyekh
Ahmad al-Tijani melalui dua jenis shalawat yang dikembangkan dalam
ajaran thariqatnya yaknishalawat Fatih dan shalawat Jauharat al-Kamal :
• Pertama, tentang Shalawat Fatih :
Berikut teks bacaan shalawat fatih :
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَااُغْلِقَ
وَالْخَاتِمِ لِمَاسَبَقَنَاصِرِالْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى اِلَى
صِرَاطِك َالْمُسْتَقِيْم وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِوَمِقْدَارِهِ
الْعَظِيْمِ.
Artinya : “Yaa Allah limpahkanlah rahmat-Mu
kepada Nabi Muhammad saw., dia yang telah membukakan sesuatu yang
terkunci (tertutup), dia yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul yang
terdahulu, dia yang membela agama Allah sesuai dengan petunjuk-Nya dan
dia yang memberi petunjuk kepada jalan agama-Mu. Semoga rahmat-Mu
dilimpahkan kepada keluarganya yaitu rahmat yang sesuai dengan
kepangkatan Nabi Muhammad saw”.
Syarah kandungan shalawat Fatih,
walaupun shalawatnya diakui dari Nabi Muhammad saw; mencerminkan
pemikiran faham tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani serta pengaruh tasawuf
filsafat terhadap pemikiran Syekh Ahmad al-Tijani
Makna al-Fatih li ma Ughliq pada intinya adalah :
• Nabi Muhammad adalah sebagai pembuka belenggu ketertutupan segala yang maujud di alam.
• Nabi muhammad sebagai pembuka keterbelengguan al-Rahmah al-Ilahiyyah bagi para makhluk di alam.
• Hadirnya Nabi Muhammad menjadi pembuka hati yang terbelenggu oleh Syirik.
Sedangkan makna al-Khatimi li ma Sabaq pada intinya adalah :
• Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan kerasulan.
• Nabi Muhammad menjadi kunci kenabian dan kerasulan.
• Tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya.[14]
Pemikiran-pemikiran
(faham) tasawuf SyekhAhmad al-Tijani terkandung dalam penafsirannya
tentang makna al-Fatih li ma Ughliq dan al-Khatimlima Sabaq. Syekh Ahmad
al-Tijani mengatakan bahwaal-Fatih lima Ughliq mempunyai makna bahwa
Nabi Muhammad merupakan pembuka segala ketertutupanal-Maujud yang ada di
alam. Alam pada mulanya terkunci (mughallaq) oleh ketertutupan batin
(hujbaniyat al-Buthun). Wujud Muhammad menjadi “sebab” atas terbukanya
seluruh belenggu ketertutupan alam dan menjadi “sebab” atas terwujudnya
alam dari “tiada” menjadi “ada”. Karenawujud Muhammad alam keluar dari
“tiada” menjadi “ada”, dari ketertutupan sifat-sifat batin menuju
terbukanya eksistensi diri alam (nafs al-Akwan) di alam nyata (lahir).
Jika tanpa wujud Muhammad, Alah tidak akan mencipta segala sesuatu yang
wujud, tidak mengeluarkan alam ini dari “tiada” menjadi “ada”.
Syekh
Ahmad al-Tijani juga mengatakan bahwa awal segala yang maujud (awal
maujud) yang diciptakan oleh Allah dari eksistensi al-Ghaib adalah Ruh
Muhammad (Nur Muhammad).
Selanjutnya dikatakan, bahwa dari ruh
Muhammad ini kemudian Allah mengalirkan ruh kepada ruh-ruh alam. Ruh
alam berasal dari ruh Muhammad,ruh berarti kaifiyah. Melalui kaifiyah
ini terwujudlah materi kehidupan. Al-Haqiqat al-Muhammadiyyahadalah awal
dari segala yang maujud yang diciptakan Allah dari ¬hadarah al-Ghaib
(eksistensi keGhaiban). Di sisi Allah, tidak ada sesuatu yang maujud
yang diciptakan dari makhluk Allah sebelum al-Haqiqat al-Muhammadiyyah
ini tidak diketahui oleh siapapun dan apa pun. Di samping sebagai
pembuka, Nabi Muhammad juga sekaligus sebagai penutup kenabian dan
risalah. Oleh karena itu, tidak ada lagi risalah bagi orang sesudah Nabi
Muhammad. Nabi Muhammad juga sebagai penutup bentuk-bentuk panampakan
sifat-sifat Ilahiyyah (al-Tajaliyyah al-Ilahiyyah), yang menampakan
sifa-sifat Tuhan di alam nyata ini.[15]
Kandungan shalawat fatih
mengenai pemikiranSyekh Ahmad Al-Tijani tentang al-Haqiqat Muhammadiyyah
lebih tampak lagi dalam Shalawat Jauharat al-kamal.
• Kedua Tentang Shalawat Jauharat al-Kamal :
Berikut teks Shalawat Jauharat al-Kamal :
اَللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الرَّحْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ
وَالْيَقُوْتَةِ الْمُتَحَقِّقَةِ الْحَائِطَةِبِمَرْكَزِالْفُهُوْمِ
وَالْمَعَانِى وَنُوْرِاْلاَكْوَانِ الْمُتَكَوَّنَةِ اْلأدَمِيِّ صَاحِبِ
اْلحَقِّاْلرَّبَّانِى اْلبَرْقِ اْلأَسْطَعِ بِمُزُوَنِ اْلأَرْبَاحِ
اْلمَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ اْلبُحُوْرِوَاْلأَوَانِى
وَنُوْرِكَ اللاَّمِعِ الَّذِيْ مَلأْتَ بِه كَوْنَكَ اْلحَائِطَ
بِأَمْكِنَةِ اْلمَكاَنِىاَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَيْنِ اْلحَقِّ
الَّتِى تَتَجَلّى مِنْهَا عُرُوْشُ اْلحَقَائِقِ عَيْنِاْلمَعَارْفِ
اْلأَقْوَمِ صِرَاطِكَ التَّآمِّ اْلاَسْقَمِ اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
عَلى طَلْعَةِاْلحَقِّ بِاالْحَقِّ اْلكَنْزِ اْلأَعْظَمِ إِفَاضَتِكَ
مِنْكَ اِلَيْكَ إِحَاطَةِ النُّوْرِ اْلمُطَلْسَمِصَلَّى الله عَلَيْهِ
وَعَلى آلِهِ صَلاَةًتُعَرِّفُنَا بِهَا إِيَّاهُ
Bacaan
Shalawat Jauharat al-Kamal ini, tampaknya lebih menjelaskan atau
menafsirkan kalimat yang terdapat dalam shalawat fatih yakni kalimat
Dan lebih tampak berkait dengan konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah,
sebagaimana terihat dalam penafsiran kalimat-kalimat penting dari
shalawat Jauharah al-Kamal, yaitu bermakna yang menjadiHaqiqat rahmat
dari sifat-sifat Tuhan. bermakna Yaitu permata; Nabi Muhammad adalah
permata dalam Nur dan Ma’rifahnya. bermakna bahwa permata rahmat Nabi
Muhammad menjadi pusat pengetahuan; permata Nabi Muhammad adalah rahmat
bermakan bahwa rahmat Nabi Muhammad seperti Nur bagi seluruh makhluk
alam, termasuk manusia. Bermakna sebagai al-Haqq atau al-Haqiqat yang
memiliki sifat-sifat Tuhan. Bermakna sama dengan al-haqiqat
al-Muhammadiyyah.
Bermakna bahwa al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah mengaliri nurnya keseluruh lautan dan alam yang
terbentang. Bermakna bahwa nur Muhammad menyinari (memancarkan
sinarnya) ketempat seluruh alam bermakna bahwa Nabi Muhammad sebagai
pemilik al-haqq (al-haqiqah) yang memancarkan Haqiqat-Haqiqat yang
tinggi.
Bermakna bahwa al-Haqiqat al-Muhammadiyyah
memancarkan al-Haqq dari zat al-Haqq, Allah . bermakna bahwa Nabi
Muhammad memiliki Haqiqat ma’rifah yang paling sempurna.Bermakna Nabi
Muhammad sebagai yang paling sempurna. : Bermakna bahwa Nabi Muhammad
merupakan wujud yang sempurna. Misalnya, shalawattersebut mengungkapkan
sifat-sifat Nabi Muhammad saw., sebagai Hakekat rahmat dari
sifat-sifat Tuhan, yang merupakan pusat pengetahuan. Kemudian dikatakan
bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah yang
memiliki sifat Tuhan, yang mengalir dan menyinari keseluruh alam.
Selanjutnya dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai wujud yang
paling sempurna[16].
Hal ini, menunjukan bahwa dari aspek
pemikiran,Syekh Ahmad al-Tijani menganut tasawuf falsafi sedangkan
konsep-konsep dasar tasawufnya : nur Muhammad, Ruh Muhammad, al-Haqiqat
al-Muhammadiyyah. Dengan demikian, bahwa corak pemikiran tasawuf yang
dianut oleh Syekh Ahmad al-Tijani adalah corak pemikiran tasawuf yang
besumber dari hadits nabi yang diriwayatkan oleh Jabir -sebagaimana
telah disebutkan- kemudian dikembangkan oleh ‘Abd al-Karim al-Jili
dengan konsep dasar al-Insan al-Kamil, yang berasal dari Ibn Arabidengan
konsep Haqiqat al-Muhammadiyah-.
Dalam memposisikan
Haqiqat al-Muhammadiyyah, lebih lanjut Ibn Arabi menjelaskan bahwa
semua Nabi as., semenjak Nabi Adam as., sampai Nabi Isa ibn Maryam as.,
semuanya mengambilal-Nubuwwah (ke-Nabian) dari tempat cahaya Khatm
al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw., sekalipun wujud jasmaninya di
akhir. Sebab pada HakekatnyaKhatm al-Nabiyyin telah wujud.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. :
كُنْتُ نَبِيًا وَآدَمَ بَيْنَ المَاءِ وَالطِِّيْنِ.
Artinya : “Aku telah menjadi Nabi Ketika Adam as., masih berada antara air dan tanah”.[17]
Dalam
memahami sabda Nabi saw., ini, Ibn Arabi menegaskan bahwa Nabi
Muhammad saw., telah diangkat jadi Nabi sebelum lahirnya jasad Beliau
di dunia ini, dan Beliau mengetahui ke-Nabiannya, dengan demikian
secara Hakekat bahwa Nabi Muhammad saw., sejak di Alam arwah telah
berfungsi sebagai Rasul kepada ummat manusia sejak awal manusia melalui
para nabi dan Rasul-rasul-Nya.[18]
Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa kenabian para nabi dan kerasulan para rasul merupakan
pelaku yang dipilih Allah untuk menjalankan roda kenabian dan kerasulan
Nabi Muhammad saw.,Karena Nabi Muhammad saw., telah diangkat menjadi
Nabi dan berfungsi sebagai Nabi sejak di alam arwah.
Semua
nabi sejak Nabi Adam as., sampai terakhir Nabi Isa Ibnu Mariyam as.,
memperoleh anugerah, martabat, ilmu dari masyrab Nabi Muhammad saw., (
Al-Masyrabunnabawi, sumber kenabian), sekalipun Beliau lahir secara
jasmani di akhir. Dalam menggambarkan posisi Nabi Muhammad,Syekh Umar
Ibn Faridl yang bergelar Sulthanul ‘Usysyaq ketika fana’’ dan istighraq
dalam diri Nabi (fi Dzatin Nabi saw.,) bersyair sebagai alih bahasa
tentang kedudukan Nabi Muhammad saw., sebagai berikut :
وانى وان كنت ابن ادم صو رة * فلى فيه لعنى نا هو بابوتى
Artinya:
“Dan aku ini sekalipun rupa jasad anak nabi adam, namun di dalam
mengandung ma’na yang menjelaskan, bahwa ’’aku adalah ayahnya’’.[19]
Peran ruhani nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai Haqiqat al-Muhammadiyah tersirat dalam firman Allah swt ; berikut :
وفا ا رسلنا ك ا لا كا فة للنا س بسيرا ولكن ا كرا لنا س لا يعلمون
Artinya
: Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pembawa peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Saba’/34 :84 )
Secara
fisik Nabi Muhammad Saw., lahir diakhir. Oleh karena itu, secara
syari’at, Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi ketika turunnya Lima Ayat
darisurat al-‘Alaq di Gua Hira yakni pada hari Senin 17 Ramadhan atau
tanggal 6 Agustus tahun 600 M., ketika itu Beliau berumur 40 tahun
Komariyah 6 Bulan 8 Hari kemudian 3 tahun kemudian diangkat menjadi
Rasul terakhir melalui turunnya Surat al-Mudatstsir.
Disinilah
keunggulan Syekh Ahmad Al-Tijani, dan hal ini, lebih mengukuhkan
dirinya tentang kepemilikannya terhadap maqam wali khatm sebagai mana
pembahasan tadi.
________________________________________
[1] Sahabuddin : Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta : Renaisance, 2004) hlm.5
[2] Muhyiddin Ibn Arabi’, Fusus .op.cit. hlm. 80. Lihat juga : An-Nabhani,loc.cit.
[3] Sahabuddin, op.cit.hlm.6
[4] Ibid, hlm.9
[5] Ibid, hlm.29
[6] Ibid, hlm.10
[7] Annemarie Schimel, op.cithlm.80
[8] Sahabuddin, op.cit, hlm 19
[9] Syekh Yusuf An-Nabhani : Al-Anwar Al-Muhammadiyah.( Indonesia : Maktabah Daar Ihiya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.).hlm. 13.
[10] Sahabuddin, op.cit, hlm 19
[11] Ibid,hlm.20-21
Sahabuddin, op.cit, hlm 19[12]
[13] Ali Harazim, op.cit. 123.
[14] Muhammad Ibn Abdillah :Fathul Rabbania (Surabaya : Maktabah Sa’id al-Ibn Nabhan,t.th.), hlm. 45.
[15] Ibin 46.
[16] Ibid.hlm.78
[17]
Lihat : al-Gazali, al-Haqiqat fi Nazr al-Gazali, (Beirut : Dar
al-Ma’arif , 1971), hlm.305. Lihat juga : Ibn Arabi, Fusus.hlm.49.
[18] Ibn Arabi, Fusus.hlm.49.
[19] Fauzan,op.cit.hlm.81
Maaf, pd kutipan ayat di akhir tulisan, Mungkin yg tepat QS Saba' ayat 28 pak..
BalasHapus