Sabtu, 05 November 2011

Islam Perlu Jam Hijriah

Oleh Iwan Nurdaya Djafar

Penerjemah buku ‘Kabah Pusat Dunia’ Setakat ini, umat Islam sudah memiliki almanak Islam yang dimulai pada tahun 1 Hijriah. Adalah Ali bin Abdul Mutalib yang menggagas peristiwa hijrah sebagai awal tahun Hijriah dan kemudian ditetapkan oleh Kalifah Umar bin Khatab. Namun, sayangnya, almanak Islam itu belum dilengkapi dengan jam hijriah (jam Islam) sehingga masih menggunakan jam konvensional (jam Masehi) yang berdasarkan pada Greenwich Mean Time (GMT) dan Garis Tanggal Internasional (International Date Line/IDL) yang ditetapkan pada 1884 di Washington DC dalam Konvensi Garis Bujur Internasional. Padahal, perpaduan kedua hal tersebut sama sekali tidak tepat. Apalagi, jam konvensional itu nyata-nyata keliru sebagaimana terbukti nanti.Di atas semua itu, akan menimbulkan persoalan mengenai keabsahan ibadah mahdah (murni) yang kita lakukan mengingat Surat Al Hujurat [49] Ayat 1 menyatakan bahwa, “Yaa ay-yuhal ladziina ‘aamanu laa tuqaddimuu baina yadayillahi wa rosuulihi wattaqullaha, innallaha sami’un ‘aliim (Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui).”
Faktanya, berdasarkan jam konvensional itu dan letak Greenwich pada posisi 00, Indonesia yang secara geografis terletak di antara 950 bujur timur (BT)–1410 BT Greenwich dan kota Jakarta pada 1060 BT Greenwich lebih cepat empat jam daripada Mekah yang terletak pada titik 410 Greenwich. Dengan demikian, umat Islam Indonesia melaksanakan ibadah mahdah lebih cepat daripada Mekah. Karena hari Jumat di Indonesia awal harinya mengacu pada konsepsi awal hari menurut penanggalan Masehi, yaitu pada pukul 00.00 (24.00), terjadilah kemudian salat jumat di Indonesia mendahului salat jumat di Mekah. Akibatnya, salat jumat di Indonesia sejatinya adalah salat kamis, puasa sunah Senin-Kamis sejatinya adalah puasa Ahad-Rabu. Salat tahajud yang kita laksanakan pada sepertiga akhir malam meskipun absah, kita laksanakan pada hari esoknya karena sudah melewati pukul 00.00 alias pukul 03.00 dini hari.Penyebabnya adalah karena IDL dahulu membuat hari-hari yang berjalan di wilayah Indonesia dimajukan 28 jam sehingga hari (WIB) lebih dahulu 4 jam daripada Mekah. Untuk memenuhi ayat 1 Al Hujurat tadi, maka perlu dikembalikan seperti sebelum ada IDL. Jadi dimundurkan 28 jam sehingga hari-hari di Mekah kembali menjadi lebih dahulu dibanding hari-hari di Indonesia. Untuk menyesuaikan dengan konsep revisi tatanan waktu ini, atau tepatnya kita kembali pada tatanan waktu seperti semula adalah kita harus memundurkan hari-hari Islam yang digunakan, dari hari Ahad hingga hari Sabtu mundur satu hari. Jika saat ini hari Kamis, ke depan setelah kita ubah, maka menjadi hari Rabu, dan Rabu menjadi Selasa, dst. Dengan cara seperti itu, Mekah kembali menjadi imam dalam perjalanan waktu di seluruh dunia, dan hari-hari kita pun seterusnya menjadi benar kembali. Posisi Jakarta menjadi 19 jam 36 menit lebih akhir daripada Mekah. Dalam hal ini Indonesia berada pada titik 300 derajat bujur Mekah, dan Mekah sendiri dijadikan sebagai titik nol derajat bujur Mekah. Berdasarkan penelitian Dr. Husein Kamaluddin Ibrahim pada 1984, Mekah adalah pusat bumi (al-markaz al-a’lam), bukan Greenwich yang digagas secara apriori dan tanpa dasar ilmiah oleh Charles F. Dowd (Yahudi AS), yang kemudian ditetapkan dalam resolusi kedua Konferensi Garis Bujur Internasional pada 1844. Awal hari juga dimulai dari Mekah sebagai koordinat waktu pada pukul 06.00 petang, bukan pada titik 180 derajat bujur Greenwich, yaitu di Samudera Pasifik pada pukul 24.00 tengah malam, yang jarak selisih waktunya 16 jam dari Mekah. Akibatnya, hari-hari Islam yang tadinya 20 jam setelah Mekah, menjadi maju 4 jam mendahului Mekah. Adalah Stanford Fleming yang bertanggung jawab atas perubahan ini karena dialah yang menggagas konsep regionalisasi zona waktu. Mengenai upaya pembuatan ham Hijriah, sudah dimulai oleh praktisi muslim semisal Ir. Yasin Ash-Syouk dan istrinya Habaa Ramo di Swiss, Harits Abu Ukasyah dan Syafril di Indonesia pada Oktober 1994, dan E. Darmawan Abdullah yang melalui bukunya Jam Hijriyah: Menguak Konsepsi Waktu dalam Islam (Pustaka Al-Kautsar, 2011) menggagas jam Islam dalam konsepsi 24 jam, yang membagi 12 jam siang sebagai sa’atu maasy (work time; waktu kerja) dan 12 jam malam sebagai sa’atu tsubat (rest time; waktu istirahat). Demikian pula Bambang E. Budhiyono melalui bukunya Ka’bah Universal Time: Reinventing The Missing Islamic Time System (Waktu Universal Ka’bah: Penemuan-Ulang Sistem Tata Waktu Islam yang Hilang) terbitan Pilar Press (2002). Sayangnya, kehadiran jam Hijriah ini tidak diinsafi oleh pembuat jam raksasa berdiameter 40 meter (tujuh kali lebih besar dibanding Big Ben di Inggris) yang diletakkan pada ketinggian 600 meter di Abraj al-Bait Tower, yang salah satunya disebut Burj Sa’ah Makkah Palace (Menara Jam Mekah) di Mekah yang diresmikan pemerintah Arab Saudi pada 1 Ramadan 1431 H (11 Agustus 2010 M). Pasalnya, karena menara yang dirancang oleh para arsitek dari Dar Al-Handasah Architecs dan dibangun oleh Saudi Bin Laden Group dengan dana 3 miliar dolar itu masih menggunakan jam konvensional. Posisi angka jarum jamnya masih berputar dari kiri ke kanan, padahal yang tepat dari kanan ke kiri yang merupakan gerak sunatullah. Angka 12-nya masih berada di atas, padahal idealnya berada di bawah, dan mestinya bertukar posisi dengan angka 6 karena “awal hari” terjadi pada pukul 06.00 di titik terbenam matahari di awal malam, bukan pukul 00.00 (12 malam) di titik nadir matahari di tengah malam. Abraj ini dihadirkan agar Mekah menjadi acuan waktu dunia. Jika demikian halnya, kenapa tidak menggunakan jam Hijriah? Padahal, perlu ditandaskan sekali lagi bahwa jam konvensional sama sekali tidak cocok untuk dipadukan dengan almanak Islam, jika bukan justru mengecohkan! Dengan demikian, umat Islam sudah memiliki alat penghitung waktu dan jamnya sendiri, dan karena itu tak perlu menggunakan jam konvensional (jam masehi), khususnya dalam pelaksanaan ibadah mahdah (salat, saum, haji, dsb.). Setidaknya ada tujuh alasan pokok diperlukannya jam Hijriah, yaitu (1) untuk melengkapi konsepsi penanggalan Islam; (2) agar kita bisa dan mau menggunakan penanggalan Islam dalam kehidupan sehari-hari; (3) untuk membuat jadwal salat; (4) agar kita bias membuat penanggalan internasional; (5) agar kita bisa menjalani ibadah saum Ramadan dan Idulfitri pada hari yang sama di seluruh dunia, (6) agar kita lebih bertanggung jawab dalam penggunaan waktu; (7) agar ruang dan waktu dalam hidup dan kehidupan kita jadi totalitas islami. Selanjutnya, dalam merealisasikan jam Hijriah atau jam Islam, kita tidak perlu menunggu ketetapan formal, meskipun afdalnya tentulah demikian. Menggunakan jam Islam ini lebih pada keyakinan iman dan kesadaran individu yang pada gilirannya akan melahirkan kesadaran umat secara luas. Mari berhijrah dari kalender dan jam Masehi ke almanak dan jam Hijriah. Afalaa tatafakkarun ya muslimin wa muslimah; apakah kalian tidak berpikir wahai kaum muslim? (Sumber: Lampung Post, 29 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar